Bedak dari Bayangan Senyum di Foto Lama

Posted on

Bedak dari Bayangan Senyum di Foto Lama

Bedak dari Bayangan Senyum di Foto Lama

Di antara tumpukan barang usang di loteng, di dalam kotak kardus yang berdebu, tersimpan sebuah foto lama. Warnanya kusam, tepinya mengelupas, namun senyum dalam foto itu masih bersinar terang. Senyum seorang wanita muda, anggun dalam balutan gaun sederhana, menatap kamera dengan mata berbinar. Ia memegang sebuah kotak bedak kecil, seolah itu adalah harta karun.

Foto itu adalah potret Nenek Ratna, wanita yang nyaris tak ku kenal. Ia meninggal dunia jauh sebelum aku lahir, namun cerita tentangnya selalu menghiasi percakapan keluarga. Nenek Ratna adalah sosok yang lembut hati, penuh kasih sayang, dan selalu berusaha menebarkan kebahagiaan di sekitarnya. Kotak bedak itu, kata Ibu, adalah benda kesayangannya.

Ketertarikanku pada foto itu bukan hanya karena nilai sentimentalnya, tetapi juga karena misteri yang tersirat di dalamnya. Apa yang membuat sebuah kotak bedak begitu berharga bagi seorang wanita? Apakah itu sekadar alat rias, atau ada makna yang lebih dalam tersembunyi di baliknya?

Seiring berjalannya waktu, rasa ingin tahu itu semakin menguat. Aku mulai mencari tahu tentang Nenek Ratna, tentang kehidupannya, tentang impian-impiannya. Aku bertanya pada Ibu, pada kakek, pada siapa saja yang pernah mengenalnya. Dari cerita-cerita mereka, perlahan-lahan aku mulai merangkai gambaran tentang sosok Nenek Ratna.

Ia lahir di sebuah desa kecil yang tenang, di tengah sawah yang menghijau dan sungai yang mengalir jernih. Sejak kecil, ia sudah terbiasa membantu orang tuanya di ladang. Namun, di balik kesederhanaan hidupnya, Nenek Ratna memiliki cita-cita yang besar. Ia ingin menjadi seorang guru, ingin mendidik anak-anak desa agar bisa meraih masa depan yang lebih baik.

Setelah lulus sekolah dasar, ia melanjutkan pendidikannya ke kota. Jauh dari keluarga dan teman-teman, ia harus berjuang keras untuk membiayai sekolahnya. Ia bekerja paruh waktu sebagai pelayan toko, membersihkan rumah, dan melakukan pekerjaan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Namun, ia tidak pernah menyerah. Semangatnya untuk belajar dan meraih cita-cita tidak pernah padam.

Di kota, ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Raden. Raden adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tampan dan cerdas. Mereka saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Hubungan mereka berjalan harmonis, penuh dengan cinta dan dukungan. Mereka saling menguatkan dalam meraih impian masing-masing.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Raden harus pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studinya. Mereka berjanji untuk tetap setia dan saling menunggu. Nenek Ratna kembali ke desa, melanjutkan cita-citanya menjadi seorang guru. Ia mengajar di sekolah dasar tempat ia dulu belajar.

Kotak bedak itu adalah hadiah dari Raden sebelum ia pergi. Bedak itu bukan sekadar bedak biasa. Bedak itu adalah simbol cinta mereka, simbol harapan, dan simbol impian. Setiap kali Nenek Ratna memakai bedak itu, ia merasa Raden selalu berada di dekatnya. Ia merasa lebih percaya diri, lebih cantik, dan lebih bersemangat dalam menjalani hidup.

Bertahun-tahun berlalu, Raden tidak pernah kembali. Nenek Ratna tetap setia menunggunya. Ia tidak pernah menikah dengan pria lain. Ia mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak-anak desa. Ia menjadi sosok yang dihormati dan dicintai oleh seluruh masyarakat.

Suatu hari, Nenek Ratna jatuh sakit. Ia dirawat di rumah sakit selama beberapa minggu. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan kepada ibuku untuk menjaga kotak bedaknya. Ia mengatakan bahwa kotak bedak itu adalah warisan yang paling berharga yang bisa ia berikan.

Setelah Nenek Ratna meninggal dunia, kotak bedak itu disimpan di loteng. Aku menemukannya bertahun-tahun kemudian. Kotak bedak itu sudah usang dan kosong. Namun, aromanya masih terasa. Aroma bedak yang lembut dan menenangkan, aroma kenangan, aroma cinta.

Aku membuka kotak bedak itu dan menemukan sebuah surat kecil di dalamnya. Surat itu ditulis oleh Raden sebelum ia pergi ke luar negeri. Dalam surat itu, Raden mengungkapkan cintanya yang mendalam kepada Nenek Ratna. Ia berjanji akan segera kembali dan menikahi Nenek Ratna.

Air mataku menetes membaca surat itu. Aku merasakan kesedihan yang mendalam, kesedihan karena cinta yang tak pernah terwujud, kesedihan karena janji yang tak pernah ditepati. Namun, di balik kesedihan itu, aku juga merasakan kekaguman yang besar pada Nenek Ratna. Kekaguman atas kesetiaannya, atas ketabahannya, atas cintanya yang tak pernah padam.

Aku memutuskan untuk menyimpan kotak bedak itu sebagai kenang-kenangan. Aku ingin selalu mengingat Nenek Ratna, wanita yang senyumnya bersinar terang dalam foto lama. Aku ingin belajar dari kehidupannya, dari cintanya, dari semangatnya.

Suatu hari, aku bertemu dengan seorang pria yang mirip dengan Raden. Ia adalah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit tempat Nenek Ratna dirawat. Ia bercerita bahwa ia pernah merawat seorang pasien wanita tua yang selalu memakai bedak dengan aroma yang khas. Wanita itu selalu bercerita tentang seorang pria yang ia cintai, seorang dokter yang pergi ke luar negeri.

Aku terkejut mendengar cerita itu. Aku bertanya nama wanita itu. Dokter itu menjawab, "Ratna."

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku merasa seperti mimpi. Apakah ini sebuah kebetulan? Atau takdir?

Aku menceritakan tentang Nenek Ratna, tentang kotak bedak, tentang surat cinta dari Raden. Dokter itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Saya adalah cucu dari Raden."

Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku bertanya, "Apakah Raden pernah kembali ke Indonesia?"

Dokter itu menjawab, "Kakek saya meninggal dunia di luar negeri. Ia tidak pernah kembali ke Indonesia."

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa sedih, tetapi juga lega. Sedih karena cinta Nenek Ratna dan Raden tidak pernah terwujud, tetapi lega karena aku telah menemukan jawaban atas misteri yang selama ini menghantuiku.

Aku memberikan kotak bedak itu kepada dokter itu. Aku mengatakan bahwa kotak bedak itu adalah warisan dari Nenek Ratna, dan ia berhak untuk memilikinya. Dokter itu menerima kotak bedak itu dengan haru. Ia berjanji akan menjaganya dengan baik.

Sejak saat itu, aku merasa lebih dekat dengan Nenek Ratna. Aku merasa seperti telah menjadi bagian dari hidupnya. Aku belajar banyak dari kehidupannya, dari cintanya, dari semangatnya.

Kotak bedak itu bukan hanya sekadar benda mati. Kotak bedak itu adalah simbol cinta, harapan, dan impian. Kotak bedak itu adalah warisan yang berharga dari seorang wanita yang luar biasa.

Setiap kali aku melihat foto Nenek Ratna, aku selalu tersenyum. Aku teringat akan cerita tentang kotak bedak, tentang cinta yang tak pernah terwujud, tentang semangat yang tak pernah padam. Aku teringat akan Nenek Ratna, wanita yang senyumnya bersinar terang dalam foto lama.

Dan kini, aku mengerti. Bedak dari bayangan senyum di foto lama itu adalah lebih dari sekadar alat rias. Ia adalah serpihan kenangan, taburan harapan, dan jejak cinta abadi. Ia adalah warisan tak ternilai yang terus menginspirasi dan mewarnai hidupku. Ia adalah pengingat bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalannya, meskipun terhalang oleh waktu dan jarak. Ia adalah bukti bahwa senyum, bahkan dari foto lama, dapat memiliki kekuatan untuk mengubah hidup seseorang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *